Dona Amelia

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
English French German Spain Italian Dutch
Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Recent Post

Posted by donaamelia - - 0 komentar

Demonstration Effect Dalam Mudik Lebaran Perantau Tanah Datar
Oleh : Zul Amri, SE
A.      Pendahuluan
Banyak yang berubah di negeri ini, namun ada satu hal yang tak pernah berubah, yaitu tradisi mudik Lebaran. Hidup kaum urban di seluruh penjuru Tanah Air terasa belum lengkap jika Lebaran tidak menyempatkan diri mudik ke kampung halaman.   Membawa oleh-oleh, memakai pakaian bagus, dan tentu cerita tentang betapa menariknya kota besar. Saat itulah kita menyaksikan atau turut terlibat dalam arus mudik yang luar biasa. Kita menyaksikan melonjaknya permintaan akan angkutan umum yang tajam, melonjaknya permintaan kebutuhan sandang, dan pangan yang juga tajam. Itu sebabnya, menjelang Lebaran harga-harga cenderung mengalami kenaikan. "Harganya lain, kan Lebaran," begitu biasanya jawaban yang lazim kita dengar. "Kan Lebaran" menjadi penanda, yang membedakan hari "Lebaran" dengan hari lainnya. Tentu Lebaran berbeda dengan hari-hari lainnya. Mereka merayakan "Hari Kemenangan" bersama keluarga dan seluruh sanak saudara setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa tidak ketinggalan pula bagi perantau minang yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar. Sehingga tidaklah heran apabila lebaran datang akan banyak sekali kita lihat mobil berseliweran di Kota Batusangkar dengan plat nomor dari luar Sumatera Barat. Biasanya perantau dari Tanah Datar banyak yang berdomisili di Pulau Jawa seperti: Jakarta,Tangerah, Bekasi, Depok dan sebagainya.
B.     Demontrasion Effect dalam Mudik Lebaran
Lebaran berbeda dengan hari-hari lainnya, seperti ada sebuah kecenderungan untuk merayakan hari kemenangan. Bukan hanya dalam artian religius, tetapi juga dalam artian material. Itu sebabnya, kita kemudian melihat sebuah pergerakan ekonomi yang-walau nilainya mungkin tak luar biasa besar-perputarannya amat signifikan. Tengok saja, bagaimana pada bulan Lebaran terjadi, uang primer biasanya mengalami peningkatan secara tajam. Ini umumnya lebih diakibatkan oleh meningkatnya bagian uang yang dipegang oleh masyarakat. Artinya, di sini suplai uang pun tak sepenuhnya bisa di kendalikan oleh Bank Indonesia, karena ada bagian yang lebih ditentukan oleh permintaan uang masyarakat. Indikator sederhana ini menunjukkan bagaimana aktivitas ekonomi bergerak.
Di sisi lain, tentunya kita juga melihat harga meningkat karena kecenderungan meningkatnya permintaan, selain tentu saja harga meningkat juga karena " kebiasaan Lebaran". Syukurlah di tahun ini, walau kenaikan harga terjadi dan begitu juga kenaikan arus mudik dan sarana transportasi, sejauh ini kita tidak menemukan kasus-kasus yang luar biasa.
Fenomena mudik yang telah berlangsung puluhan tahun ini juga menunjukkan bahwa hubungan emosional masyarakat dengan tempat kelahiran masih sangat kuat, tidak pernah terkikis oleh perjalanan waktu. Di negara maju, seperti Amerika Serikat juga terdapat tradisi semacam mudik seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia dan dikenal dengan istilah home-coming. Namun home-coming ini tidak didasari oleh hubungan emosional yang kuat masyarakat di sana, namun semata oleh faktor kangen. Bentuknya tidak harus ke tanah kelahiran, tetapi dapat berupa acara reuni sekolah. Hubungan emosional mereka tidak sekuat hubungan masyarakat Indonesia dalam tradisi mudik, karena masyarakat AS mempunyai mobilitas yang sangat tinggi dan cepat.
Fenomena mudik masyarakat Indonesia, utamanya masyarakat Tanah Datar, juga dilatarbelakangi oleh kecenderungan inward-looking yang sangat kuat. Sudah menjadi ciri masyarakat Minang, kecenderungan menengok ke belakang, memandang masa lampau, dan menatap ke dalam sangat kuat sehingga menimbulkan peningkatan aktivitas ekonomi akibat pengeluaran. Di satu sisi tentu tak ada yang salah dengan fenomena peningkatan aktivitas ekonomi akibat pengeluaran ini. Bukankah memang dalam beberapa tahun terakhir ekonomi tumbuh karena digerakkan oleh konsumsi. Jika memang benar begitu, bukankah ini pertanda baik? Jawabnya bisa jadi ya dan tidak. Ya, dalam arti ia menambah aktivitas ekonomi dalam jangka pendek. Ia tentunya berkontribusi pada aktivitas ekonomi. Namun, ia mungkin juga mencerminkan pemborosan yang terjadi. Bisa dibayangkan, betapa banyak potensial tabungan yang hilang oleh aktivitas mudik ini. Bagi mereka yang berpendapatan tinggi, tentu bagian yang dibelanjakan hanya merupakan porsi kecil dalam total pengeluarannya. Namun, bagi mereka yang pendapatannya berada dalam garis subsisten atau pas- pasan, mudik berarti melepas tabungan.
Dia bekerja dan hanya punya perhatian untuk hari ini, karena kemiskinannya, ia tidak mempedulikan masa datang. Hanya kadang-kadang untuk pengobat hati rindu ia mengenang kejayaan masa lampau yang didengarnya dari dongeng orang tua dulu. Dipandang dari dimensi sosial yang lain, fenomena mudik juga menjadi indikator ketergantungan desa pada kota. Status sosial menengah ke bawah di desa tidak mungkin dapat menaiki tangga sosial langsung ke lapisan elite lokal. Mengadu nasib ke kota merupakan salah satu jalan yang ditempuh agar mobilitas sosial dapat melalui "jalan tol" untuk naik tangga sosial.
Boleh jadi di kota seseorang menempati strata sosial dari kelas bawah atau strata tengah. Ketika pulang ke desa, posisinya langsung masuk strata atas. Kita sering melihat banyak kaum urban yang sukses, misalnya menjadi juragan rumah makan, juragan Toko Kelontong dan lainnya yang banyak menjamur di berbagai kota.Seperti biasanya, kisah sukses harus dipamerkan ke komunitas asal. Mudik Lebaran adalah momentum paling tepat untuk maksud itu. Jadi merayakan kemenangan di hari Lebaran bukan hanya dalam arti religius, namun juga dalam segi material. Bagi yang belum sukses biasanya memilih untuk tidak mudik sampai ada identitas ekonomi atau status sosial yang bisa dipamerkan. Menjelang dan saat Lebaran terjadi peningkatan aktivitas ekonomi yang cukup siginifikan, dengan konsumsi sebagai lokomotif penggerak. Uang primer mengalami peningkatan yang sangat tajam karena meningkatnya uang yang dipegang masyarakat yang mudik. fenomena seperti yang penulis uraikan di atas memiliki nilai plus maupun minus. Nilai plusnya, fenomena seperti itu menambah aktivitas ekonomi dalam jangka pendek yang mempunyai kontribusi pada aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Namun, kondisi pengeluaran uang yang berlebihan seperti itu bisa juga ditafsirkan sebagai tindakan pemborosan.
Bayangkan, mereka bekerja membanting tulang dan menabung selama berbulan-bulan. Namun hasil kerja keras tersebut dihambur-hamburkan dalam waktu relatif singkat demi memanjakan pola hidup konsumtif dan hedonis, serta menjurus pada demonstration effect. Bagi golongan berpendapatan tinggi, mungkin porsi yang mereka keluarkan hanya sebagian kecil dari pendapatan mereka. Tetapi bagi yang hidupnya subsisten, pengeluaran tersebut pasti merupakan bagian yang cukup besar dari pendapatan mereka. Memang, hidup tidak selamanya dapat dijelaskan oleh rasionalitas ekonomi. Hubungan emosional seringkali memiliki alasan yang lebih kuat, sehingga mengalahkan rasionalisme ekonomi. Mungkinkah beban hidup yang akhir-akhir ini makin berat menghimpit masyarakat kita mampu menyurutkan fenomena mudik dengan segala dinamikanya.